Kawin Kontrak, Sebuah Perbuatan Pidana

  • Bagikan

Oleh : Brigjen Pol Dr. Bambang Usadi MM

Kawin kontrak bertentangan dengan agama apabila dipandang dari perspektif norma yang dianut masyarakat Islam mainstream di Indonesia. MUI, NU dan Muhammadiyah dengan tegas mengharamkan praktek kawin kontrak. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun secara implisit menegaskan kawin kontrak sesungguhnya tidak termasuk dalam perkawinan yang sah.

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 secara jelas menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Kemudian dipertegas pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Kawin kontrak yang semata memperturutkan kesenangan, mengumbar hawa nafsu, mengabaikan norma, hanya memperturutkan tuntutan ekonomi dan mengabaikan tujuan mulia dari perkawinan itu sendiri merupakan sebuah perbuatan yang dapat dikategorikan dalam “prostitusi terselubung”, karena merupakan hubungan yang tidak sah dan terlarang menurut hukum, haram menurut agama dan tidak wajar dalam perspektif pergaulan sosial.

Delik Kawin Kontrak

Dalam KUHP, pengaturan delik prostitusi hanya mampu menjerat perantara. Pasal 296 KUHP menyatakan ‘barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah’. Pasal 506 KUHP menyatakan ‘barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seseorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

Oleh karena itu, penyidik Polri yang hanya memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum terhadap perantara, dituntut mampu memanfaatkan ketentuan lain yang dimungkinkan dalam menjerat praktek kawin kontrak sebagai bentuk prostitusi terselubung. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, apabila terjadi prostitusi yang melibatkan anak sebagai pelaku, atau peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan tindak pidana.

Ketentuan Pasal 287 KUHP yang menyatakan ‘barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahuinya atau sepetutnya harus diduga bahwa umurnya lima belas tahun, atau kalau tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Berlakunya UU No. 23 Tahun 2002 dan UU No. 21 Tahun 2007, menyebabkan batasan umur harus didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang lebih baru, batasan anak di bawah umur apabila masih di bawah delapan belas tahun.

UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dapat diterapkan pada praktek kawin kontrak sebagai bentuk prostitusi terselubung. Perdagangan orang menurut ketentuan undang-undang tersebut adalah ‘tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan tereksploitasi. Ancaman sanksinya penjara minimum tiga tahun hingga seumur hidup dan denda minimum Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) hingga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).

Namun demikian, perempuan sebagai pelaku kawin kontrak dalam ketentuan UU No. 21 Tahun 2007 hanya sebagai korban, sehingga perbuatan atau keterlibatan perempuan sebagai pelaku kawin kontrak tidak dapat digolongkan terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang. Bagi pengguna jasa kawin kontrak, disebabkan tidak ada pengaturan delik dalam KUHP dan UU lainnya, maka penegakan hukum tidak dapat menyentuhnya, kecuali ada Perda yang mengaturnya secara khusus, sebagaimana Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Praktek prostitusi.

Delik lain yang dapat diterapkan, apabila praktek kawin kontrak memanfaatkan media online untuk menawarkan atau mengiklankan jasa, sehingga dapat dijerat dengan delik Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE yang berisikan larangan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan yang ancaman hukumannya mencapai 6 tahun penjara, atau dengan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang secara tegas menjerat perantara atau mucikari ke tahanan dengan waktu lebih lama. Sesuai pasal 4 ayat 2 huruf d yang berbunyi larangan menawarkan atau mengiklankan, baik langsung mau pun tidak langsung layanan seksual, diancam pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun.

Langkah Penanggulangan

Memperhatikan berbagai kegamangan yang selama ini terjadi dalam upaya penanggulangan kawin kontrak, melalui penegakan hukum dan pendekatan lainnya, maka upaya yang dapat dilakukan untuk membendung penyebaran paham kawin kontrak yang seolah dilegalisasi norma agama dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, mendorong diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Maklumat MA atau Fatwa MA yang mengatur petunjuk teknis dan sinergisitas upaya penegakan hukum dari seluruh komponen criminal justice system dalam berperan aktif menanggulangi terjadinya praktek kawin kontrak yang dapat dijerat dengan delik pelacuran (prostitusi) bagi perantara.

Kedua, mendorong Pemda di wilayah rawan praktek kawin kontrak (Kab. Bogor, Kab. Cianjur, Kab. Majalengka, Kab. Pati, Kab. Kuningan, Kab. Palu, dan lainnya) untuk menerbitkan Perda yang mampu menanggulangi penyakit sosial praktek kawin kontrak yang diidentifikasi sebagai prostitusi terselubung.

Ketiga, pentingnya amandemen UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memperluas dan mengakomodasi pengaturan lebih spesifik tentang tidak sahnya praktek kawin kontrak.

Keempat, menempatkan Kemenag sebagai koordinator kebijakan penanggulangan praktek kawin kontrak mengingat persoalan kawin kontrak sangat kental dengan pembenaran doktrin agama dan mengancam nilai kemuliaan agama yang dijunjung tinggi.

Kelima, perlunya pendekatan dan tindakan komprehensif, koheren, terkoordinasi dan sinergis dari seluruh stakeholder, seperti Polri, Kemenag, Kemensos, Kemenpar, Kemendagri, Dirjen Imigrasi dan Pemda dalam menerapkan upaya pencegahan serta upaya kuratif dan represif dalam menanggulangi penyakit sosial praktek kawin kontrak sebagai prostitusi terselubung.

Keenam, mendorong dilakukan operasi yustisi terhadap pendatang dari daerah lain yang dicurigai tidak memiliki kartu identitas lokal serta operasi keimigrasian dan pengawasan terhadap WNA untuk menghindari penyalahgunaan visa ke Indonesia untuk tujuan melakukan praktek kawin kontrak.

Ketujuh, mendorong Pemda, Dinsos dan Disnaker membuat program kreatif melakukan upaya-upaya pemberdayaan dengan memberikan pelatihan kerja, menyediakan lapangan kerja, menggalakkan aktivitas positif seperti kompetisi olahraga dan rekreasi, serta rekayasa sosial yang dinilai mampu mengubah kebiasaan dan sistem nilai sosial di wilayah rawan praktek kawin kontrak.

Kedelapan, dinas pariwisata memperketat aturan dan pengawasan praktek usaha yang disinyalir memfasilitasi terjadinya praktek kawin kontrak, untuk membatasi ruang gerak bagi perilaku kawin kontrak.

Kesembilan, mendorong tokoh agama setempat dan Kanwil Agama memberikan bimbingan penyuluhan keagamaan tentang pentingnya nilai-nilai keagungan perkawinan, tujuan perkawinan dan nilai-nilai agama yang terkait dengan hubungan tidak sah yang terjadi antara orang dewasa.

Kesepuluh, memperhatikan berbagai langkah penanggulangan praktek kawin kontrak yang diambil harus senantiasa mampu menjaga kohesi dengan perkembangan rekayasa sosial dan eksistensi budaya masyarakat di sekitar wilayah rawan praktek kawin kontrak, untuk memastikan efektivitas kebijakan penanggulangan kawin kontrak, menghindari ancaman instabilitas kamtibmas yang tidak dikehendaki, dan menjaga keselamatan aparat yang bertugas di lapangan.

Perlu Komitmen Bersama

Kawin kontrak yang meresahkan secara nasional dan tidak sesuai dengan budaya bangsa menegaskan perlunya komitmen bersama dan pentingnya mendorong tercapainya langkah-langkah penanggulangan sebagaimana diuraikan sebelumnya, untuk menjamin berkembangnya peradaban bangsa yang menjunjung tinggi harkat, martabat, marwah dan jatidiri identitas keindonesiaan.
Seluruh komponen bangsa harus bahu membahu mengambil setiap peran dan langkah yang diperlukan untuk memastikan perilaku-perilaku yang mempertaruhkan dan menurunkan citra dan martabat bangsa dan kemanusiaan seperti ini tidak justru berkembang, akan tetapi pada akhirnya justru terkisis habis dan hanya meninggalkan budaya konstruktif menuju masyarakat madani dan berkemajuan.

Makalah ini disampaikan penulis pada Seminar ‘Eksistensi Kawin Kontrak dari Perspektif Norma dan Ekonomi’ yang diselenggarakan Mahkamah Agung, tanggal 15 September 2016.

  • penulis adalah Karobankum Divkum Polri
  • Bagikan