Erdogan Sebut Media Sosial sebagai Ancaman bagi Demokrasi

  • Bagikan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mencap media sosial sebagai salah satu ancaman utama bagi demokrasi. Pernyataan ini disampaikannya pada Sabtu (11/12/2022).

Pemerintah Erdogan berencana untuk mengejar pembuatan undang-undang untuk mengkriminalisasi penyebaran berita palsu dan disinformasi online. Namun bagi para lawan politiknya, pembuatan undang-undangan yang diusulkan justru memperketat pembatasan kebebasan berbicara.

Erdogan mengatakan ketika pertama kali muncul media sosial dipuji sebagai simbol kebebasan, tetapi sekarang telah “berubah menjadi salah satu sumber utama ancaman bagi demokrasi saat ini”.

“Dalam hal ini, penting untuk menginformasikan kepada publik untuk memerangi disinformasi dan propaganda dalam kerangka kebenaran,” katanya.

“Kami mencoba melindungi orang-orang kami, terutama bagian masyarakat yang rentan, dari kebohongan dan disinformasi tanpa melanggar hak warga negara kami untuk menerima informasi yang akurat dan tidak memihak.”

Presiden Turki itu mengatakan bahwa jutaan nyawa orang “digelapkan” karena berita seperti itu menyebar dari “saluran yang tidak memiliki mekanisme kontrol yang efektif”.

Turki mengesahkan undang-undang tahun lalu yang mewajibkan platform media sosial yang memiliki lebih dari satu juta pengguna untuk memiliki perwakilan hukum dan menyimpan data di negara tersebut. Perusahaan media sosial besar, termasuk Facebook, YouTube dan Twitter telah mendirikan kantor di Turki.

Undang-undang baru akan membuat penyebaran pelanggaran pidana “disinformasi” dan “berita palsu” dapat dihukum hingga lima tahun penjara, menurut laporan media pro-pemerintah. Itu juga akan membentuk regulator media sosial.

Sebagian besar perusahaan media besar Turki berada di bawah kendali pemerintah dan menghalangi munculnya media sosial sebagai saluran penting bagi suara-suara yang berbeda pendapat.

Freedom House’s Freedom on the Net report, yang diterbitkan pada bulan September, menyebut Turki sebagai negara yang “tidak bebas”. Organisasi ini juga mencatat ada banyaknya penghapusan konten yang kritis terhadap pemerintah dan pemidanaan orang-orang yang memposting komentar “tidak diinginkan” di media sosial.

  • Bagikan