Lembaga Kajian Dialektika: Ancaman Resesi, Subsidi Kelas Menengah dan Sektor TI Bisa Jadi Solusi

  • Bagikan

Ancaman resesi ekonomi di Indonesia semakin nyata setelah BPS merilis data kondisi pertumbuhan ekonomi di kuartal II tahun 2020 terkontraksi cukup dalam, hingga minus 5,32%.

Salah satu faktor kontraksi tersebut akibat inflasi yang disebabkan masyarakat enggan belanja dan lebih banyak menahan belanja konsumsinya.

Karenanya pemerintah diharapkan untuk memberikan subsidi bagi kelas menengah untuk pertumbuhan ekonomi. Mengingat kelas menengah menyumbang sekitar 40% belanja konsumsi. Selain itu juga didorong agar dilakukan pemberian subsidi internet dalam rangka membantu akses pendidikan.

Hal ini muncul muncul dalam Kajian Rutin Kamis Malam Lembaga Kajian Dialektika, pada kamis (06/08/2020). Dalam virtual discussion dengan tema “Mitigasi Resesi Ekonomi di Tengah Pandemi”, hadir sebagai narasumber Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin (Pengamat Ekonomi/KNEKS) dan Faaza Fakhrunnas (Dosen Fakultas Ekonomi UII). Diskusi ini dimoderatori langsung oleh Direktur Lembaga Kajian Dialektika, Muhamamd Khutub.

Muhibbuddin Ahmad, memaparkan bahwa di tahun 2019 akhir, beberapa lembaga internasional sudah memperingatkan dunia global bahwa akan terjadi resesi.

“Sebenarnya di Indonesia sendiri, alarm resesi sudah ditandai oleh beberapa indikator seperti, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5%, neraca perdagangan yang sempat anjlok pada tahun 2018, bahkan anjloknya sampai pada level terdalam sepanjang sejarah RI, dan inflasi yang stabil, di mana ternyata terjadi fenomena masyarkat menahan konsumsinya. nah ini yang justru berbahaya, karena konsumsi merupakan salah satu komponen yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan PDB di Indonesia”. Terang Muhibbudin.

Peringatan resesi ini membuat pemerintahan di banyak negara kemudian mengoreksi target pertumbuhan ekonominya di tahun 2020.

Termasuk Indonesia yang melakukan revisi target asumsi makro atau target pertumbuhan PDB di APBN dengan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 dalam rangka melonggarkan dua Undang-Undang sekaligus, yaitu UU Keuangan Negara dan UU Stabiulitas Sistem Keuangan.

Perppu tersebut salah satunya memberikan pelonggaran pembatasan defisit anggaran APBN yang dibolehkan melebihi 3% sampai pada tahun 2023 dan juga memberikan penguatan kewenangan dari para regulator di sektor-sektor keuangan sebagai upaya pemulihan keuangan nasional, seperti BI, OJK, LPS, dan Kemenkeu.

Kemudian setelah mengeluarkan PERPPU tersebut, pemerintah melakukan perubahan postur APBN yang tertuang pada Perpres No. 54 Tahun 2020. perubahan tersebut mencakup pendapatan negara yang sebelumnya menargetkan 2.233 Triliun diturunkan menjadi 1.760 Triliun.

Kemudian postur anggaran belanja naik dari sebelumnya 1.683 Triliun menjadi 2.613 Triliun. Sehingga secara otomatis defisit anggarannya menjadi 307 Triliun.

Lalu naik kembali menjadi 852 Triliun pada postur APBN yang baru setelah direvisi, di mana besaran defisitnya mencapai 5,07% dari PDB.

Di sisi lain, ternyata perubahan tersebut saja belum cukup sehingga pemerintah saat ini sedang melakukan revisi outlook lagi, di mana terget pendapatan turun lagi menjadi 1.641 Triliun.

kemudian belanjanya membengkak sampai 2.720 Triliun, secara otomatis defisit pun membengkak lagi menjadi 1.028 Triliun.

“Dengan didongkraknya anggaran belanja menjadi lebih besar, pemerintah berupaya untuk mendorong perekonomian terutama sektor konsumsi agar uang dapat beredar di masyarakat, ada kegiatan-kegiatan seperti perjalanan dinas yang berfungsi mengerek kembali perekonomian supaya tidak terjatuh semakin dalam ke jurang resesi” Tambah Muhibbuddin.

Sementara itu, menurut Faaza Fakhrunnas, ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab resesi di Indonesia.

“Pertama adalah inflasi, inflasi rendah itu menunjukkan harga yang stabil, tapi ingat, faktor inflasi itu adalah demand-pull inflation, yang maknanya menunjukkan masyarakat lebih menahan diri untuk tidak mengkonsumsi berlebih, akhirnya barang-barang sekunder atau barang-barang mewah ditahan”.

“Kedua, faktor foreign direct investment yang tidak begitu menggembirakan, porsinya cukup besar. FDI ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi maksimal mencapai 30%. tapi ternyata realisasi sampai kuartal II datanya kira-kira baru mencapai 39% dari target FDI”.

“Ketiga, impor yang turun, hal ini mengindikasikan bahwa memang operasional perusahaan-perusahaan di Indonesia saat ini sedang turun, sehingga produksi otomatis juga tidak bisa berbuat banyak, dan PHK-PHK dan pemotongan gaji yang terjadi angkanya jutaan”. Terang Fazza dalam pemaparannya.

Indonesia memang negara yang banyak di topang faktor konsumsi, sehingga ketika krisis ia agak stabil, asal konsumsinya kuat.

Tapi krisis saat ini lain, di mana yang terjadi hari ini krisisnya adalah kesehatan, keuangan dan psikologis secara langsung.

Bank dunia, merilis bahwa di tahun 2020 kira-kira ada sekitar 115 juta kelas menengah yang pengeluarannya sehari 2 dolar ke atas.

Kelas menengah ini ternyata lebih banyak memilih menyimpan dananya di bank sebagai tabungan karena mereka sadar dan melek literasi bahwa dana cadangan tersebut dalam aktivitas personal finance menjadi sangat penting, apalagi di masa pandemi.

Adapun Pelonggaran PSBB saat ini, justru membuat kelas menengah semakin takut untuk melakukan aktivitas konsumsi.

Sementara kalau kita lihat sektor konsumsi di Indonesia 40% ditopang oleh kelas menengah.

“makanya kalau kita lihat ke depan, seharusnya subsidi itu tidak hanya diberikan untuk orang-orang kelas bawah, karena kelas bawah hanya berkontribusi 17% dari total konsumsi, justru barangkali pemerintah harus memikirkan untuk memberikan subsidi bagi kelas menengah karena merekalah yang menopang konsumsi hampir 40%”.

“Selain itu, pemerintah juga seharusnya memberikan subsidi internet karena daya dorong ekonomi di sektor digital sangat tinggi, apalagi hari ini kita memasuki fase revolusi 4.0. dan tidak hanya itu, subsidi dalam bidang ini juga akan membantu akses pendidikan”. Tutup Faaza.

  • Bagikan