Perbedaan Sistem Pembelajaran antara Pondok Modern dengan Salaf (Tradisional)

  • Bagikan

Pondok Pesantren menggunakan sistem yang berbeda-beda dalam pembelajaran. Baik sisitem, metode dan kitab-kitab yang dipelajari. Hasilnya, lulusan pesantren modern cenderung kuat dalam percakpan bahasa arab, sedangkan pesantren salaf lebih kuat dalam membaca kitab-kitab kuning.

Hal ini muncul dalam diskusi rutin online Lembaga Kajian Dialektika rabu (10/09/2020). Hadir sebagai narasumber yaitu Imam Muttaqin, M.Pd. (santri lulusan Pondok Modern Gontor Darussalam yang saat ini menjadi dosen aktif UNIDA Gontor), dan Amin Awal Amarudin, (Dosen Pendidikan Bahasa Arab di Universitas KH. Wahab Hasbullah yang juga santri lulusan Pesantren Tambak Beras Jombang). yang dimoderatori oleh Muhammad Khutub (Direktur Dialektika)

Imam Muttaqin mengatakan, pesantren modern cenderung mengandalkan penguasaan bahasa arab melalui metode kemahiran dalam percakapan.

Menurut Imam, Pondok Gontor sebagai pelopor pondok modern mempunyai metode mendidik dan mengajar yang khas dan berbeda dari pondok pesantren lainnya, di mana Gontor menggunakan metode baru.

Jadi, modern di sini bukan dalam arti ajaran agamanya karena tujuan akhirnya hampir sama dengan pesantren lainnya yaitu, li i’la’i kalimatillah (untuk meninggikan kalimat Allah).

“Metode baru ini mempunyai slogan dalam pengajaran bahasa Arab yang terkenal di pesantren, an-nahwu fi al-kalam ka al-milhi fi ath-tha’am.

Konon dari kata-kata inilah maka ilmu Nahwu diajarkan lebih dahulu sebelum orang mengerti bahasa Arab atau bersamaan dengan belajar bahasa Arab. Namun, KH. Imam Zarkasyi justru memahami sebaliknya.

Bahwa santri harus belajar bahasa dahulu sebelum belajar Nahwu, sebab orang tidak akan menggunakan garam sebelum ada masakan.

Maka, strategi yang diterapkan KH. Imam Zarkasyi adalah dengan membuat para santri dapat berbicara dalam bahasa asing itu”. Ungkap Imam.

Kemudian, para santri Gontor juga mempelajari bahasa Arab dari dasar sekali.

Santri yang sebelumnya telah hafal bait-bait alfiyah, misalnya, harus memulai lagi dari pengenalan kata benda, kata kerja, kata sifat hingga kepada pengenalan struktur kalimat dalam bahasa Arab.

Untuk tujuan pengajaran ini, KH. Imam Zarkasyi menyusun buku Durus al-Lughah yang materinya disusun secara sistematis dan mudah diajarkan dengan metode langsung tanpa terjemah sedikitpun. Selain itu juga diajarkan tamrinaat dan muthola’ah di pesantren modern.

Berbeda dengan pondok modern, Menurut Amin Awal yang lebih dari 20 tahun berkecimpung dalam dunia pesantren tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyimpulkan bahwa pada pesantren tradisional (salafy) yang tidak menyelenggarakan pendidikan formal capaian pembelajaran bahasa arabnya hanya berkisar pada maharah (kecakapan) membaca dan mendengar dari kyai saja.

Sementara untuk maharah kalam (berbicara) dan menulis, seperti menulis artikel atau jurnal masih lemah.

Jadi, pesantren hanya fokus pada penguasaan ilmu alat teoritis bukan praktis.

“Pesantren memang mendalami bahasa arabnya sampai mendalam sekali, sampai pada hal-hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Pesantren harusnya mengubah arah pembelajarannya dari nahwu teoritis ke nahwu praktis, karena nahwu-shorof yang praktis itu sebenarnya tidak terlalu banyak. Seperti contoh, kitab Alfiyah yang seribu bait lebih itu disusupkan oleh metode amsilaty menjadi hanya 100 bait sampai 150 bait saja dan itu sudah cukup untuk menguasai bahasa arab secara keseluruhan”. Kata Amin Awal.

Amin Awal menambahkan, ada juga pesantren yang mengombinasikan sistem klasik (salaf) dan modern atau pesantren tradisional yang menyelenggarakan pendidikan formal (seperti PP Al-Munawwaroh Jombang), pengajaran bahasa arab intensif dan kitab kuning dilakukan baik di pesantren maupun MA/MTs.

Santri juga dituntut untuk berbicara bahasa Arab-Inggris sehari-hari dan menghapal Al-Qur’an serta memahami kitab kuning sebagai target outputnya. Jelas Amin Awal.

 

  • Bagikan