Diskusi Dialektika Institute: Polemik Label dan Sertifikasi Halal Harusnya Lebih ke Diskusi yang Substantif, Bukan Prosedural

  • Bagikan

Masyarakat Indonesia dikagetkan dengan berita adanya pengambilalihan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke Kemenag. Peralihan ini terjadi secara bertahap sehingga kewenangan menentukan kehalalan sebuah produk itu bukan lagi menjadi kewenangan mutlak MUI melainkan menjadi kewenangan pemeritah dan bersifat mandatory berdasarkan UU JPH.

Melihat adanya peralihan kewenangan ini berikut isu-isu kontroversial yang ada setelahnya, Dialektika Institute bekerjasama dengan ICMI Muda, Kliksaja.co dan LSIN (20/03/2022) menggelar diskusi online melalui daring via zoom dengan mengusung tema “Menyoal Peralihan Sertifikasi Halal dari Mui ke Kemenag: Siapa Yang Diuntungkan dan Untuk Kepentingan Apa?”

Hadir sebagai pembicara : Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama) yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kementerian Agama, Dr. Mastuki, Dr. Amir Syah Tambunan (Sekjen MUI) dan Dr. Ahmad Anjai Al Barousy (Direktur Lembaga Dakwah MPP ICMI Muda). Diskusi dimoderatori oleh Tumpal Panggabean (Ketua Presidium ICMI Muda Pusat).

Di awal pemaparannya, Mastuki menjelaskan soal legitimasi dibentuknya BPJPH sebagai Badan yang bertugas melakukan sertifikasi halal. Pembentukan Badan ini bermula dari diterbitkannya UU JPH 2014. Setelah itu, Mastuki menjelaskan beberapa alasan mengapa UU 33/2014 tentang JPH direvisi melalui UU 21/2020 tentan CIPTAKER.

“pertama,  UU ini mendorong percepatan sertifikasi halal bagi aneka produk (barang dan jasa) untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah bagi pelaku usaha; kedua, keberpihakan pada pelaku usaha mikro kecil (pro UMK) dengan menyediakan pembiayaan gratis sertifikasi halal dan kemudahan prosedur sertifikasi halal; ketiga, menyederhanakan perijinan berusaha (mudah, cepat, meningkatkan investasi) melalui integrasi perijinan tunggal (One Single Submission); keempat, melibatkan pemangku kepentingan halal yang luas meliputi kementerian, lembaga, instansi, perguruan tinggi, MUI, LPH, ormas dan lembaga keagamaan Islam,” jelasnya.

Dalam pemaparannya, Mastuki juga menjelaskan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara yang secara resmi mewajibkan sertifikasi halal melalui UU. Mastuki menjelaskan, pasal 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 (UU JPH) mengatur bahwa produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

Produk yang dimaksud adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. “Di dalam menentukan jenis produk yang terkategori sebagai yang wajib bersertifikasi ini kita berkoordinasi dengan kementerian terkait, lembaga terkait dan MUI. Dan alhamdulillah ketetapan terkait ini sudah keluar,” terang Mastuki.

Untuk memastikan ketersediaan produk halal bagi muslim dan warga negara, Pemerintah Indonesia mensahkan UU Jaminan Produk Halal no. 33/2014 sebagai pelaksanaan UUD 1945. Tujuan disahkannya UU JPH ini ialah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk. Selain itu, UU JPH ini, jelas Mastuki, bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Sebagai impelementasi dari amanat UU JPH ini, jelas Mastuki, dibentuklah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama RI.

“Badan ini yang memiliki beberapa kewenangan, di antaranya: merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal, melakukan registrasi sertifikat halal pada luar negeri, melakukan akreditasi terhadap LPH, melakukan registrasi auditor halal, melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan pembinaan auditor halal dan melakukan kerjasama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH,” paparnya.

Mastuki menjelaskan bahwa penetapan halal yang berlaku di Indonesia menggabungkan dua aspek; pertama, sains dan kedua, fikih. Jadi penetapan produk halal berangkat dari asumsi yang sifatnya ilmiah dan agama sekaligus. Lebih jauh bahwa dalam penetapan sertifikasi halal, BPJPH tidak sendirian melainkan harus berkoordinasi dengan MUI yang menetapkan kehalalan produk melalui siding fatwa dan LPH yang memeriksa dan/atau menguji produk.

Jadi menurut Mastuki, tidak ada istilah peralihan kewenangan dari MUI ke Kemenag. Yang ada hanyalah distribusi kewenangan. BPJPH tidak bekerja sendiri melainkan harus berkoordinasi dengan LPH dan MUI. Di akhir penyampaiannya, Mastuki juga menegaskan bahwa penetapan label halal merupakan kewenangan BPJPH yang diambil legitimasinya dari UU JPH.

Pemaparan oleh Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Dr. Mastuki dilanjutkan lebih jauh dari Sekjen MUI, Dr. Amir Syah Tambunan. Tambunan lebih banyak menyoroti polemik yang terjadi di kalangan masyarakat terkait label halal terbaru. “jangan sampai polemik yang terjadi di kalangan masyarakat ini menjadi polemik yang tidak produktif. Polemik saat ini terkait logo hanya menekankan aspek prosedural tapi abai terhadap substansi dari manfaat dari sertifikasi halal melalui UU JPH ini,” paparnya.

Sementara itu, Dr. Ahmad Anjai Al Baroesy mencurigai peralihan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke Kemenag ini didorong oleh adanya motif untuk menurunkan derajat para ulama. Al Baroesy juga juga menilai bahwa label halal terbaru merupakan label yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterapkan oleh para pakar kaligrafi Arab. “Kalau perlu, logo ini diganti karena tidak terlalu jelas dibaca halalnya. Khot halal di logo ini seolah tidak ada bedanya dengan halal, atau kehancuran. Jadi saya harap ini diubah,” jelas Al Barousy.

  • Bagikan