BRIN dan Tantangan Kenaikan Harga Kedelai

  • Bagikan

Oleh: I. Aeni Muharromah (Dosen Universitas Pamulang dan Humas BRIN)

Pagi ini pemandangan tidak biasa terjadi, tidak terlihat hamparan tempe dan tahu di pasar dekat rumah. Belum lagi masalah minyak goreng yang masih sangat terbatas dan langka. Rasa penasaran ini membuat saya bertanya mengapa tukang tempe tahu tidak berjualan seperti biasanya? Beberapa penjelasan yang didapat dari pedagang dan obrolan pagi emak-emak semakin menguatkan banyak berita yang pernah saya dapati di media-media mainstream: adanya informasi terkait mogok berjualan tahu dan tempe. Dua produk olahan ini makin langka di pasaran.

Fenomena kelangkaan dan naiknya harga kedelai memang cukup ironi. Padahal sudah lama tahu dan tempe menjadi makanan favorit sebagian besar masyarakat pulau Jawa. Seperti yang jamak diketahui, olahan dari kedelai ini biasa dimanfaatkan sebagai lauk-pauk dan aneka camilan. Selain murah, bergizi, juga sangat digemari. Kini semua olahan ini akan menjadi mahal bila harga kedelai tetap naik.

Kenaikan harga kedelai ini jangan dianggap sepele. Persoalan ini harus segera diatasi dan jangan sampai berlarut-larut. Kenaikan harga kedelai ini memang cukup ironis jika dibanding dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia. Seperti banyak ditemukan dalam laporan, Indonesia menjadi pasar kedelai terbesar di Asia.

Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain. Ala kulli hal, kedelai sudah menjadi kebutuhan pangan kita dan sekarang harganya sudah membumbung tinggi.

 

Kecanduan Impor

Karena mahalnya harga kedelai inilah, muncul aksi mogok jualan tahu tempe. Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) Aip Syaifuddin mengatakan bahwa aksi mogok ini merupakan respons terhadap mahalnya harga kedelai di pasaran saat ini. Gerakan ini awalnya hanya sekitar Jabodetabek namun meluas hingga seluruh pulau Jawa. Aip mengatakan, saat ini harga kedelai diperdagangkan di kisaran harga Rp 11.000 dari yang sebelumnya seharga Rp 9.000. Faktor utama di balik naiknya harga kedelai ini ialah akibat ketergantungan pada impor.

Fenomena ini mendorong saya untuk bertanya mengapa Indonesia yang merupakan produsen kedelai paling tinggi di dunia sangat tergantung pada kedelai impor? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja pedagang di pasar tidak paham benar akar persoalan yang ada. Yang jelas mereka hanya menuntut harga kedelai harus stabil dan bila perlu diturunkan.

Kejadian naiknya harga kedelai tidak hanya saat ini namun seperti pengulangan dan terulang lagi. Tahun lalu mennyongsong pergantian tahun 2021 kedelai naik dan berakibat menjeritnya para pengrajin karena menghambat dapur produksi. Kurangnya pasokan kedelai akan memicu naiknya harga kedelai di pasaran sehingga berdampak pada produksi makanan berbahan baku kedelai. Padahal kedelai merupakan salah satu bahan pangan yang sangat dibutuhkan.

 

Solusi

Kenaikan dan kelangkaan kedelai menjadi hal serius dan perlu dicarikan solusinya dengan segera. Terlebih lagi diketahui bahwa kenaikan harga kedelai di Indonesia dikarenakan naiknya harga kedelai impor, sedangkan kebutuhan kedelai nasional saat ini, sebagian besar dipenuhi melalui impor.

Kebutuhan kedelai di tanah air mencapai 3 juta ton per tahun. Sementara, produksi dalam negeri hanya 20%. Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap 3 juta ton kedelai itu hanya bisa dipasok 20% dari dalam negeri. Dan bahkan untuk tahun ini dari BKP Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, produsi kedelai Indonesia hanya 10%, jadi 90% nya impor.

Kenyataan ini tentunya mengharuskan pemerintah untuk berani menerapkan kebijakan out of the box, misalnya, menawarkan barter antara komoditas kedelai dengan batu bara dari Indonesia.

Solusi jangka pendek dengan cara barter antara komoditas kedelai dengan batu bara yang merupakan keunggulan komparatif Indonesia dapat menargetkan China dan India, dua negara yang menjadi produsen kedelai terbesar keempat dan kelima di dunia sebagai negara tujuan kerja sama barter kedua komoditas tersebut.

Dengan demikian diharapkan pemerintah mengarahkan BUMN produsen batu bara bekerja sama dengan BUMN Pangan dalam melakukan tawaran barter tersebut sehingga kedelai yang diperoleh dapat mengamankan stok jangka pendek, paling tidak hingga Juli 2022. Opsi lain yang dilontarkan adalah solusi jangka panjang, yakni dengan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri dengan kebijakan insentif biaya produksi untuk petani.

Kebijakan jangka panjang pemerintah memang harus direncanakan dengan matang mengingat kedelai sudah merupakan kebutuhan hajat hidup masyarakat luas. Kebijakan pemerintah harus berorientasi untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya sehingga diperlukan berbagai cara dan strategi untuk mewujudkannya.

 

Perlunya Peranan BRIN

Selain itu, keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional sebagai badan yang mengintegrasikan beberapa lembaga litbang harus mampu menjawab tantangan kelangkaan kedelai ini. Litbangjirap Batan yang telah berintegrasi dalam BRIN telah menghasilkan 14 varietas unggul kedelai. Varietas benih unggul kedelai hasil mutasi radiasi gamma yang dihasilkan eks BATAN dapat dijadikan varietas yang dimanfaatkan secara nasional. Tentu ini diharapkan dapat mendongkrak produktifitas nasional.

Menurut Deputi bidang Pendayagunaan Teknologi Nuklir 2021 Totti Tjiptosumirat, pada tahun 2020 pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan peningkatan produksi kedelai 7% yakni dari 358.627 ton pada tahun 2019 menjadi 383.371 ton pada 2020. Untuk mencapai target ini, pemerintah membuat program 300.000 ha di 21 provinsi untuk ditanami kedelai.

BATAN turut berkontribusi dalam penyediaan benih unggul kedelai hingga mencapai 5 ton. Benih kedelai saat itu yang tersedia adalah varietas Anjasmoro, Grobogan, dan Mutiara 1. Benih FS Mutiara 1 yang disiapkan oleh BATAN lebih kurang 5 ton. Keseriusan BATAN dalam melakukan penelitian kedelai ini dibuktikan dengan melepas 4 varietas tanaman kedelai pada dua tahun terakhir, yaitu varietas Kemuning 1 dan Kemuning 2 untuk kedelai tahan cekaman, dan varietas Sugentan 1 dan Sugentan 2, yang merupakan varietas hasil perbaikan sebelumnya. Dengan penyinaran radiasi gamma pada dosis 250 gray, didapatkan varietas baru yang mempunyai karakter lebih baik dibandingkan varietas induknya.

 

Tantangan Riset Nasional

Semua ini tentu menjadi tantangan nyata bagi BRIN sebagai rumah baru yang menaungi seluruh lembaga riset dan inovasi. BRIN harus mampu bersinergi dengan Litbang pertanian, Kementan, Pemda, Deperindag dan stake holder lain untuk mengupayakan swasembada kedelai. Tentu saja ini tidak mudah karena semua stake holder memiliki visi jelas sehingga saat implementasi seluruh kegiatan bisa saling mendukung. BRIN memiliki bargaining position yang lebih besar.

Kini saatnya BRIN lebih giat lagi melihat permasalahan mendasar kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat luas. Selain itu, riset dan inovasi bidang pangan harus terus dikembangkan agar dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia dengan solusi-solusi ilmiah yang ditawarkan.

Namun demikian, persoalan peningkatan produksi kedelai tidak hanya ditentukan oleh jenis varietasnya saja, tetapi dipengaruhi oleh faktor lain seperti teknik budi daya, ketersediaan lahan, dan harga kedelai di tingkat petani. Selain itu, faktor kebijakan di bidang pertanian tanaman  dan pangan juga  perlu diperhatikan lebih jauh. Dan di atas semua itu, BRIN dan pemerintah harus segera mengupayakan langkah-langkah konkrit demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Semoga terwujud.

  • Bagikan