La Nyalla Mattalitti, APENMASI dan Perjuangan Menghapus Kesenjangan Sosial

  • Bagikan

Hafid Abbas

Ketua Umun APENMASI

 

Kongres Perdana Asosiasi Pendidikan Masyarakat Indonesia (APENMASI) telah dibuka oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden pada 6 Maret 2019, dan ketika itu dihadiri oleh sekitar 300 peserta dari berbagai kementerian, perguruan tinggi negeri dan swasta, beberapa lembaga mitra lainnya dari dalam dan luar negeri.

APENMASI adalah wadah para pakar, peneliti, ilmuwan, dan praktisi pendidikan masyarakat yang tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN dan PTS) dan tersebar di berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di seluruh tanah air yang menyelenggarakan beragam kegiatan pendidikan kesetaraan, pendidikan vokasi, pengembangan minat dan pribadi dan pembekalan keterampilan dasar hidup, untuk terus berkontribusi menjankau mereka yang miskin dan tertinggal.

Melalui kegiatan tri-dharmanya, APENMASI telah mengidentikasi 18 kelompok sasaran masyarakat yang dinilai memiliki tingkat kerawanan sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti petani miskin, masyakarat adat, anak jalanan, buruh migran, anak dengan gizi buruk, penyandang disabilitas, dsb. Dari jumlah itu terdapat 128 agenda strategis nyata yang akan dilaksanakan dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengabdiannya pada masyarakat untuk membebaskan masyarakat dari keterbelakangannya.

Lahirnya agenda strategis itu didasarkan pada kerisauan atas semakin melebarnya tingkat kesenjangan sosial di negeri ini. Meski diakui bahwa pemerintah saat ini telah melakukan banyak hal untuk memajukan mereka yang tertinggal, tapi banyak pula harapan yang belum dapat diwujudkan. Kenyataan menunjukkan bahwa saat ini tingkat kesenjangan sosial di tanah air masih amat tinggi, bahkan dilaporkan oleh Global Wealth Databooks (2016), Indonesia berada pada urutan ke empat terburuk di dunia, berada setelah Rusia, India, dan Thailand.

Bahkan diungkapkan pula oleh Oxfam (2017) bahwa kekayaan empat orang kaya Indonesia setara dengan jumlah kekayaan yang dimiliki 100 juta penduduk miskin negeri ini. Bahkan, dilaporkan pula oleh Kompas pada 15 dan 16 Maret 2018 bahwa terdapat hanya beberapa warga negara yang menguasai hampir 50 juta hektar lahan atau setara dengan 741 kali luas Jakarta. Bahkan terdapat satu perusahaan yang diperkirakan menguasai 5,2 juta hektar lahan atau 74 kali luas Jakarta.

Yang amat memprihatinkan lagi adalah kekayaan orang kaya Indonesia ini disembunyikan di luar negeri. Oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyebut 80 persen asetnya disembunyikan di Singapura (Straits Times, 21/7/2016), dan Presiden Jokowi menyebutkan pula terdapat Rp 11.000 triliun duit mereka yang disembunyikan di luar negeri (Setkab, 6/12/2016). Jumlah ini  setara 5-6 kali jumlah  APBN yang seharusnya dinikmati oleh 274 juta penduduk negeri ini.

Dengan adanya pandemi covid-19 yang juga melanda Indonesia sejak dua tahun terakhir, angka kemiskinan dan kesenjangan sosial tentu semakin meningkat. Data 30 April 2022, jumlah kasus Covid-19 di seluruh tanah air mencapai 6.046.796 kasus, ke dua tertinggi di ASEAN, berada setelah Vietnam, dengan jumlah kematian 156.257. Jumlah ini adalah ke dua tertinggi di Asia dan kesembilan di dunia.

Dampak lainnya, terdapat 68 juta siswa di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan terpaksa harus belajar secara online karena sekolah dan kampusnya ditutup. Namun, 67 persen guru mereka mengalami kesulitan menggunakan perangkat belajar secara online. Apalagi, empat dari lima pengguna internet di Indonesia hanya berada di Jawa dan Sumatera (UNICEF, 2022)

Jika kesenjangan yang semakin melebar ini dibiarkan berlangsung lama, negeri kita akan terus mengalami keterpurukan, tertinggal dari bangsa-bangsa lain dan selanjutnya akan mengalami pelapukan masa depan. Keterbelakangan, kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat sesungguhnya berpangkal dari keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan sosial yang amat ekstrim itu adalah adanya kesenjangan pengetahuan (knowledge gap) antarwarga negara. Data memperlihatkan terdapat 88,8 persen sekolah di Indonesia, mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Terdapat, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan, dan 0,65 persen sekolah-sekolah yang dinilai sudah sekolah bertaraf internasional, hanya 0,65 persen (ACDP, 24/4/2013).

Bahkan pada akhir 2012, firma pendidikan Pearson mempublikasikan bahwa sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia bersama Meksiko dan Brasil, dan yang dinilai terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan, dan kemudian diikuti Hong Kong, Jepang dan Singapura.

Kesenjangan pengetahuan di masa lalu ini dinilai sebagai pangkal dari adanya kesenjangan-kesenjangan lainnya yang kini semua semakin memburuk akibat pandemi covid-19 lebih dua tahun terakhir.

Satu-satunya elit Politik dan Pejabat Negara di negeri ini yang terbanyak menyuarakan ketimpangan itu adalah La Nyalla Mattalitti, Ketua DPD RI. Bahkan, La Nyalla menentang perpanjang masa jabatan Presiden tiga priode ketika wacana itu mengemuka ke publik pada Maret lalu, menentang segala upaya kudeta konstitusi, menggugat MK atas presidential threshold 20 persen yang dinilai sebagai pangkal suburnya oligarki dan tirani kekuasaan dan perpecahan bangsa di masa depan.

La Nyalla juga menggugat kegagalan pemerintah menyediakan minyak goreng, menaiknya harga kebutuhan pokok, meminta pemerintah mengklarifikasi membanjirnya tenaga kerja asing asal China baik sebelum ataupun pada semasa pandemi Covid-19, menentang pelarangan Mudik Lebaran pada saat diperbolehkannya warga China membludak berdatangan ke Indonesia, menentang pelemahan KPK, mengungkap kegagalan pemerintah menurunkan angka kemiskinan dan ketiadaan pemberdayaan ekonomi desa, meminta pemerintah menghentikan penggusuran paksa.

Lebih dari itu, La Nyalla menuntut penghentian islmaphobia dan proyek radikalisme, dan bahkan pada pertemuannya dengan para Kiyai di Bangkalan, Jawa Timur pada 20 April lalu, ia mengingatkan pemerintah atas ancaman jebakan utang (debt trap) China ke Indonesia yang dapat mengalami nasib seperti Sri Lanka, Zimbabwe, Nigeria, Uganda Kenya dan kehancuran sejumlah negara  lainnya dari jebakan utang China itu.

La Nayalla sebagai Wakil Rakyat sungguh selalu hadir menyuarakan suara hati rakyat yang tidak terdengar semata-mata untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat demi NKRI.

Karenanya, Seminar Internasional APENMASI yang akan dilaksanakan pada 14 Juni 2022 di Kampus UNJ akan menghadirkan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti sebagai Pembicara Kunci, Jean Bilala dari Afrika Selatan (CEO Ithuba Corp), Juha Christensen dari Finlandia (Fasilitator Perdamaian Aceh di Helsinki), dan Carlos Ferrandiz dari Barcelona (Aktivis Kemanusiaan) sebagai pembicara internasional untuk bersama dengan sejumlah pakar dari berbagai perguruan tinggi di tanah air.

APENMASI berikhtiar untuk terus berkontribusi menjangkau mereka yang terpencil yang sulit terjangkau, memberdayakan mereka yang miskin dan tertinggal, dengan membekali mereka pengetahuan dan ketrampilan dasar hidup fungsional yang memungkinkannya bergerak ke taraf kehidupan yang lebih mulia dan terhormat.

Seminar Internasional yang bertema Agenda Strategis APENMASI: Memajukan Mereka Yang Tertinggal bertujuan untuk:

Pertama, mempertemukan sejumlah PTN dan PTS  yang memiliki Program Studi Pendidikan Masyarakat beserta berbagai jaringan mitranya untuk memperkuat sinergitas dan kerjasamanya baik di lingkup daerah, nasional ataupun internasional dalam pelaksanaan kegiatan tri-dharma perguruan tinggi dengan berfokus pada 18 kelompok sasaran masyarakat yang rentan terhadap berbagai persoalan sosial dan ekonomi.

Kedua, membahas penerapan Agenda Strategis APENMASI sesuai dengan koridor ekonomi lokal masing-masing perguruan tinggi di seluruh tanah air, misalnya Penmas UPI Bandung membina desa Cihampelas Kecamatan Cililin, Bandung Barat menjadi desa Eceng Gondok yang memanfaatkan gulma tanaman yang liar ini menjadi sepatu, tas, tikar, kursi, meja dan berbagai produk lainnya yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga daerah itu terbebas dari warga masyarakat miskin.

Ketiga, menjabarkan seluruh Agenda Strategis tersebut dengan skala prioritasnya hingga ke pranata-pranata sosial paling bawah dengan melibatkan berbagai pihak terkait, seperti pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan institusi-institusi pendidikan yang sudah mengakar di masyarakat, seperti Pesantren, dsb.

Terakhir, dengan Seminar Internasional ini, melalui agenda APENMASI, setiap Kampus diharapkan dapat mengembangkan pusat kajian pemberdayaan masyarakat miskin, seperti halnya Pusat Studi yang dikembangkan oleh Muhammad Yunus di Universitas Dhaka dan universitas lainnya di Bangladesh yang mengantarnya menerima Hadiah Nobel Perdamaian 2006.

  • Bagikan