Pembunuh Demokrasi

  • Bagikan

Oleh : Prof. Dr. H. Denny Indrayana 

Duitokrasi. Satu kata itu memang tidak ditemukan di kamus bahasa manapun. Saya pertama kali menggunakannya ketika menyampaikan presentasi di Melbourne Law School, Australia, sekolah hukum tempat saya menyelesaikan program doktoral (PhD), dan menjadi Profesor Tamu selama tiga tahun.

Dalam diskusi yang diadakan salah satu fakultas hukum terbaik di dunia tersebut, judul makalah saya adalah: Duitokrasi Kills Indonesia’s Democracy. Tentu saja saya akhirnya perlu menjelaskan apa itu “Duitokrasi”.

Idenya muncul dari buku berjudul, “Dollarocracy: How the Money and Media Election Complex is Destroying America”. Buku yang ditulis oleh jurnalis politik John Nichols dan kritikus media Robert W. McChesney tersebut bertutur soal bagaimana “kekuatan uang” (the money power), yang lalu diistilahkannya sebagai “Dollarocracy”, dari asal kata “Dollar”, telah menjadi kekuatan penentu dalam pemilu yang tidak hanya membahayakan politik elektoral, tetapi lebih jauh merupakan lonceng kematian bagi DNA demokrasi Amerika Serikat.

Duitokrasi

Dari kata “Dollarocracy” itulah, saya kemudian terinspirasi untuk menghadirkan “Duitokrasi”. Sebenarnya kalau paralel dengan penggunaan kata dollar, maka kata yang sepadan adalah “Rupiahkrasi”.

Tetapi, saya memutuskan diksi “duitokrasi” dengan dua alasan. Satu, dalam rasa bahasa, kata “duit” lebih berbau aroma anyir, beraura negatif, ketimbang rupiah. Dua, kata “duitokrasi” lebih terdengar satu kufu dan lebih nyaman dibunyikan ketika dihadap-hadapkan dengan demokrasi.

Maka, jadilah saya putuskan menggunakan istilah tersebut, yaitu ketika duitokrasi (daulat duit) mengalahkan demokrasi (daulat rakyat).

Dalam diskusi yang diadakan Melbourne Law School di atas, saya menjadi nara sumber dimana forum membandingkan praktik haram politik uang di Indonesia dengan Australia.

Pembunuhan Demokrasi

Ketika itulah, dengan berat hati saya menyampaikan argumen bahwa, demokrasi Indonesia telah dibunuh oleh duitokrasi. Artinya, daulat rakyat telah ditikam mati oleh kekuatan uang. Uanglah yang menentukan siapa menjadi pemenang dalam pemilu.

Bahkan, beberapa langkah lebih awal sebelum menjadi the winner, duit pulalah yang menentukan siapa yang bisa menjadi kandidat dalam hajatan yang semestinya menjadi pesta rakyat. Demokrasi dibunuh duitokrasi. Pesta rakyat berubah menjadi pesta para pencuri dan penipu rakyat.

Pemilu bukan menghadirkan para pemimpin negara yang amanah, sebagaimana cita-cita dan konsep awalnya, tetapi berbalik menjadi pabrik yang mencetak para penghianat dan koruptor, yang pada gilirannya menjadi pesakitan di hadapan hukum, dan berbaju oranye KPK.

Karena itu, syarat utama agar pemilu tetap menjadi pesta rakyat adalah: daulat uang harus dikalahkan, daulat rakyat harus direbut kembali.

Caranya tidak lain adalah dengan membasmi dan menihilkan praktik jual beli suara di setiap proses pemilu, baik dalam tahap pencalonan, ataupun dalam fase pemenangan. Seluruh praktik haram politik uang, apapun modus, topeng, dan kamuflasenya harus benar-benar kita ringkus dan penjarakan.

Praktik jual-beli tiket pencalonan (candidacy buying), ataupun perdagangan suara pemilih (vote buying) sama-sama sudah dirumuskan sebagai kejahatan dan pelanggaran pemilu, yang sanksinya adalah pidana penjara, denda, ataupun hukuman administratif hingga diskualifikasi kandidat yang tetap nekat melakukannya.

Penagakan Hukum Ompong

Undang-undang pemilu kita sebenarnya sudah mengadopsi norma demikian, namun mengapa duitokrasi masih saja menang telak ketika bertarung dengan demokrasi? Jawabannya tidak lain karena, aturan hukum itu hanya menjadi macan kertas yang ompong dan tidak bisa menggigit, ketika diaplikasikan dalam kehidupan politik nyata.

Norma sanksi yang baik, tidak akan pernah efektif ketika penegak hukumnya sendiri tidak steril dan masih menghamba dengan kekuatan duit, ataupun kalah dengan intervensi kuasa.

Dari pengalaman saya satu setengah tahun ini berikhtiar di Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan, praktik haram politik uang masih telanjang dijalankan. Di samping karena sikap politik elit dan budaya kaum alit kita sudah permisif kepada jual beli suara, sistem pengawasan dan penghukuman yang disiapkan oleh UU Pemilu kita masih menjadi bagian dari masalah (part of the problem) ketimbang seharusnya menjadi bagian dari solusi (part of the solution).

Berbagai pelanggaran yang coba kami laporkan kepada lembaga pengawas baik di pusat maupun daerah, hanya menjadi proses yang melelahkan, tanpa hasil yang memuaskan. Dimana tumpukan bukti-bukti yang seharusnya tak terbantahkan, dikalahkan oleh negosiasi, lobi, dan telepon intervensi.

Lebih menyedihkan lagi, ketika proses penegakan hukum itu juga menjadi bagian yang dapat diperjualbelikan, artinya juga kalah melawan duitokrasi, daulat uang.

Maka, pemilu kita menghadirkan pemenang yang akan menghamba kepada kekuatan pemodal (oligarki), serta tidak akan mungkin memikirkan kepentingan rakyat pemilihnya. Kemenangan duit itulah yang dengan baik dijudulkan Smita Notosusanto pada kolomnya di mingguan Tempo pada tahun 2004, “Presiden Pilihan Uang”.

Judul itu terasa bombastis, tetapi pesan moralnya terang-benderang, tatkala moral pemilu kita sudah tergadaikan dengan uang, dapat diperjualbelikan, bisa ditransaksikan, maka jangan harap pesta demokrasi menghadirkan pemimpin yang amanah, karena dia hanya akan menjadi hamba sahaya dari godaan materi, menjadi budak dari daulat duit (duitokrasi).

Padahal, duitokrasi dalam berbagai modus politik uangnya adalah musuh utama dan kemaksiatan nyata yang membunuh sistem pemilu dan demokrasi kita. Duitokrasi adalah virus yang lebih menyesakkan nafas, lebih mematikan dibandingkan pendemi COVID 19.

Duitokrasi menyebabkan moralitas kepemiluan kita kehilangan wibawa, harkat, dan martabatnya. Padahal Al Qur’an menegaskan bahwa kehancuran suatu umat, adalah karena rusaknya moralitas kehidupan bermasyarakat. Surat Al Isra ayat 16 berbunyi, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu)”.

Kebinasaan akan menjadi ujung jalan bagi bangsa yang hancur moralitasnya. Salah satunya yang daulat rakyatnya (demokrasi) dikalahkan oleh daulat duit (duitokrasi). Pada bangsa yang demikian, akan hadir kebinasaan, akan lahir bencana alam dan non-alam. Di Kalimantan Selatan, hancurnya moralitas dengan maraknya politik uang akan menghadirkan pemimpin yang tidak amanah, dan bencana alam banjir yang “Banyunya (kada) lalu haja”. Wallahu’alam Bisshowab.

 

  • Bagikan