Pakar Hukum Tata Negara Sebut Krisis Bank Banten Akibat Sistem

  • Bagikan

Pakar Hukum Tata Negara Univesitas Lampung, Yhanu Setiawan mengatakan, krisis Bank Banten bermula dari pemindahan rekening keuangan umum daerah (RKUD) Pemprov Banten ke Bank BJB setelah sebelumnya penyertaan modal tak kunjung dicairkan.

“Apabila Bank Banten gagal, PT BGD (Banten Global Development)  sebagai induk BUMD (Pemprov Banten) juga dianggap gagal. Begitu pula Pemprov Banten, dianggap telah gagal menjalankan bisnis perbankan. Ini dampak sistemik, bukan perorang,” katanya.

Yhanu menambahkan, kerugian yang dialami Bank Banten saat ini tidak terlepas dari kebijakan keuangan daerah yang tidak mendukung terhadap kebutuhan Bank Banten. Nanti, kata dia,  Pemprov Banten akan dimintai pertanggungjawabannya dalam pelaporan keuangan BUMD.

“Karena aktivitas bisnis yang dilakukan Bank Banten menjadi tidak terlepas dari BUMD itu, baik itu kinerja positif maupun negatif. BUMD itu juga mempunyai kewajiban melaporkan kinerjanya kepada Pemprov Banten,” ujarnya.

Yhanu menyebut, polemik Bank Banten merupakan permasalahan yang kompleks, tidak berdiri sendiri. Karena itu, banyak pihak yang wajib dievaluasi dan harus bertanggungjawab. “Seharusnya Pemprov Banten selaku PSPT mengintervensi operasional Bank Banten, karena terus mengalami kerugian,” tandas pakar Hukum Tata Negera yang tinggal di Kota Serang, Banten itu.

Sementara itu, pengamat Ekonomi Untirta, Elvin Bastian menilai, Pemprov Banten menjadi pihak yang bertanggungjawab terhadap penjualan aset kredit ASN Pemprov Banten dari Bank Banten ke Bank BJB sebanyak 2.500 kreditur. Penjualan itu dinilai berpotensi mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp179 miliar.

mengatakan, penjualan aset itu harus penuh dengan kehati-hatian dan tentunya melalui mekanisme aturan OJK yang sangat ketat. Dalam prosesnya, persetujuan komisaris Bank Banten saja tidak cukup, mengingat perseroan sudah menjadi perusahaan terbuka yang banyak saham publik juga di dalamnya.

“Pemilik Saham Pengendali Terakhir (PSPT) juga terlibat dalam proses ini,” katanya, Jumat (26/06/2020).

Penjualan aset kredit itu, lanjut Elvin, tidak mudah bisa dikembalikan lagi ke Bank Banten. Karena yang terjadi kemudian hubungan bisnis to bisnis antar entitas dua perbankan yang masing-masing memiliki prosedur ketat dan panjang dalam pengalihan kredit. Selain itu, kata dia, permasalahan pundamental kemampuan keuangan Bank Banten juga turut mempengaruhi.

“Kalau secara personaliti mungkin bisa saja dilakukan dengan mudah. Tapi tidak otomatis semua akan melakukan pemindahan rekeningnya. Ketika secara legal standing RKUD itu ada di bank BJB, maka Bank Banten tidak bisa menjadi tempat penyimpanan RKUD lagi,” jelasnya.

Dia memberikan warning kepada Pemprov Banten agar berhati-hati dalam melaksanakan bisnis perbankan. Sebab, dalam bisnis perbankan harus penuh dengan kehati-hatian atau pruden. “Kalau mengelolanya tidak pruden, percuma juga. Disuntik dana berapapun akan sia-sia. Kasian juga APBD Banten yang 10 persennya terserap untuk bank Banten,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Elvin, perlu adanya good Will dari Pemprov dan peran serta seluruh Pemda yang ada di Banten untuk ikut serta mengembangkan bank Banten. Pemprov Banten sebagai PSP tentu mempunyai berkewajiban untuk mengajak pemerintah Kabupaten/Kota agar memindahkan RKUD-nya ke Bank Banten.

“Kalau semangatnya menyelamatkan Bank Banten, harus segera dilakukan. Tapi kalau melihat prospek bisnis, dengan melihat indikator data dan struktur modal Bank Banten sekarang, harus berpikir lagi untuk menyelamatkan Bank Banten,” katanya.

  • Bagikan