Guru Besar Universitas Nasional Australia Sebut Rezim Jokowi Lakukan Tindakan Represif Terhadap Kelompok Islamis

  • Bagikan

Guru Besar Universitas Nasional Australia (ANU), Profesor Greg Fealy menyebut pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah bertindak represif terhadap kelompok Islamis.

Hal tersebut disampaikan oleh Greg Fealy dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh eastasiaforum.org, Minggu (27/09/2020).

Dalam artikel yang berjudul “Jokowi’s Repressive Pluralism”, Greg menuliskan tindakan represif itu diarahkan kepada pegawai negeri, akademisi, hingga karyawan swasta dalam berbagai bentuk.

Greg menyebutkan mereka yang dianggap mencurigakan dimasukkan ke dalam daftar pantauan oleh badan keamanan negara.

“Beberapa Islamis telah disingkirkan dari posisi strategis atau ditolak promosi,” kata Greg.

Pemerintah Indonesia, menurut Greg, sering melihat kelompok Islamis sebagai ekstremis. Dalam kategori ini tidak hanya teroris dan pendukung ISIS, tetapi juga anggota atau simpatisan partai-partai Islam.

Salah satu kelompok yang mendapatkan stigma negatif adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

“PKS memiliki catatan sempurna dalam bermain sesuai aturan permainan demokrasi, namun banyak anggota yang menjadi sasaran tindakan represif dan diskriminatif oleh negara,” terang Greg.

Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi terhadap kelompok Islamis ini bertujuan agar mereka berhenti mengekspresikan pandangan keagamaan hingga menanggalkan keyakinan yang dianggap konservatif.

Greg mengungkapkan tindakan yang dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa Islamisme sebagai ancaman eksistensial bagi Indonesia.

“Mereka menganggap para Islamis sebagai pemecah belah karena mereka berusaha untuk mengistimewakan Muslim dan hukum Islam di dalam negara dan masyarakat, dengan demikian menyangkal prinsip-prinsip yang mendasari negara itu. Pandangan ini dianut oleh organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan partai politik sekutunya yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa,” lanjutnya.

Greg mengungkapkan bahwa Jokowi dan partai-partai pemerintahan sangat khawatir peristiwa 2016-2017 terulang kembali, yaitu ketika kelompok-kelompok Islamis memobilisasi ratusan ribu Muslim di jalan-jalan Jakarta untuk memprotes pernyataan gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang diduga menghina Al-Qur’an.

Gubernur, yang tampaknya akan meraih kemenangan besar sebelum tuduhan penistaan agama, dikalahkan dalam pemilihan gubernur April 2017 dan kemudian dipenjara selama dua tahun.

Peristiwa ini meyakinkan banyak orang di pemerintahan bahwa tindakan bersama diperlukan untuk membalikkan gelombang Islamisme yang meningkat.

Memang, sebagian besar menteri percaya bahwa jika Islamisme tidak dibendung dan dinegasikan selama sisa tahun kepresidenan Jokowi, maka Islamisme akan menjadi sangat kuat dan susah dikendalikan.

Namun, Greg meragukan validitas pandangan pemerintahan Jokowi. Menurutnya, ekspresi konservatifisme Islam sedang berkembang di Indonesia, seperti halnya religiusitas konservatif yang meningkat di banyak negara Asia dan negara Barat lainnya. Tapi ini belum berdampak signifikan dalam kontestasi politik di Indonesia.

“Banyak Muslim konservatif menghindari politik praktis dan tidak ada partai Islam yang mampu memenangkan lebih dari 8 persen suara dalam empat pemilihan terakhir,” lanjut Greg.

Memang, kelompok Islamis mampu menjatuhkan mantan gubernur Jakarta non-Muslim, tapi kasus itu melibatkan penistaan, yang selalu menimbulkan emosi dan semangat yang berlipat, tapi biasanya dalam waktu yang singkat di jalanan. Sejak saat itu, gerakan Islamis terus berjuang namun gagal mengulang kesuksesan tahun 2016-2017.

Lebih buruk lagi bagi kelompok Islamis, kandidat presiden yang mereka dukung dalam pemilu 2014 dan 2019, Prabowo Subianto, tiba-tiba berubah haluan dengan bergabung pada pemerintahan baru Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.

“Hal ini membuat kaum Islamis putus asa dan kacau. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa Islamisme membahayakan sistem politik Indonesia,” lanjut Greg.

Menurut Greg, jika Indonesia memang menghargai toleransi dan keragaman, ia harus menerima legitimasi wacana Islam dan kegiatan organisasi. Kebanyakan pandangan kelompok Islamis tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan. Menekan Islamisme justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia kurang demokratis.

  • Bagikan